Jumat, 24 April 2009

MENGGAPAI HIKMAH ISRA’ MI’RAJ DAN SHOLAT

Oleh : Drs. Ahmad Supardi Hasibuan

Kepala Sub Bagian Perencanaan dan Informasi Keagamaan

Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Riau

Pada bulan Rajab setiap tahun, umat Islam diseluruh dunia senantiasa melakukan peringatan Isra’dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang berlangsung pada tanggal 27 Rajab beberapa tahun sebelum melaksanakan hijrah dari Mekah ke Madinah, seperti diuraikan Allah dalam Al-qur’an Surat Al-Isra’, ayat 1 : Maha sici Allah yang telah memperjalankan hambanya pada suatu malam dari Masjidil Haram Makkah ke Masjidil Aqsa Palestina, yang telah kami berkahi disekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda kebesaran kami. Sesungguhnya Allah maha mendengar dan maha melihat.

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Allah SWT telah memperjalankan rasulNya pada suatu malam dari Masjidil Haram Makkah ke Masjidil Aqsa Palestina. Bagi seorang mukmin dan muslim sejati, pernyataan Allah tersebut adalah merupakan suatu kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan secara panjang lebar keabsahannya, sebab peristiwa tersebut adalah merupakan kekuasan dan kehendak Allah SWT.

Sifat seperti inilah yang diperlihatkan oleh Abu Bakar, sahabat Nabi Muhammad SAW, ketika diceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj oleh orang yang menemuinya. Abu Bakar langsung membenarkannya, sebab peristiwa tersebut diyakini oleh Abu Bakar dengan pendekatan imani, bukan pendekatan rasio atau akal pikiran semata-mata.

Peristiwa Israk dan Miraj bukanlah peristiwa yang rasional, apalagi irasional, oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan dan didustakan dengan pendekatan akal pikiran semata-mata. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah merupakan peristiwa yang bersifat supra rasional yang menembus batas-batas akal pikiran manusia yang bersifat terbatas. Oleh karena itu, pembenarannyapun harus melakukan pendekatan imani dan hanya dapat dilakukan oleh mukmin sejati. Sedangkan bagi orang yang tidak beriman, sudah barang pasti akan menolak mentah-mentah kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj itu.

Setelah Nabi Muhammad SAW melaksanakan Isra’ yaitu perjalanan dari Masjidil Haram Makkah ke Masjidil Aqsa Palistina, kemudian dilanjutkan dengan Mi’raj yaitu perjalanan dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha dan bahkan lebih jauh lagi. Hal ini seperti di jelaskan Allah swt dalam Alquran surat An-Najm 13-18: sebagai berikut :

Artinya : Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lalu. (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal. (Muhammad) melihat Jibril ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.

Perjalanan Mi’raj tidak hanya sampai di Sidratul Muntaha tetapi sampai ke Arsy Allah, dimana makhluk malaikat tidak lagi bisa masuk. Di Arasy inilah Nabi menghadap Allah dengan duduk tawarru’ seperti halnya dalam sholat, dengan segala kerendahan hatinya yang tulus, merasakan dengan penuh kekaguman atas kebesaran Allah dan menerima perintah sholat lima waktu.

Pertemuan Nabi dengan Allah SWT ini diabadikan dalam bacaan sholat sewaktu tahiyyat akhir, sebagai berikut :

Artinya : (Nabi berkata) Segala puji, segala kehormatan, segala keberkahan dan segala keutamaan hanya bagi Allah. (Allah menjawab) Keselamatan atasmu wahai Nabi, semoga rahmat dan keberkahaNya (atasmu). (Nabi melanjutkan) Keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yanga sholih.

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj seperti digambarkan tadi membuahkan perintah sholat. Sholat adalah merupakan oleh-oleh yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bagi ummatnya, baik yang hidup pada masanya maupun yang hidup sesudahnya. Oleh karena itulah, sholat yang merupakan oleh-oleh dari Nabi itu, harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, ibarat makanan lezat yang merupakan oleh-oleh dari orang yang sangat kita cintai, tentunya akan dimakan dengan lahap dan penuh kelezatan.

Perintah sholat yang semula lima puluh kali dalam sehari semalam, lalu kemudian atas kasih sayang Allah SWT dikurangi hingga menjadi lima kali dalam sehari semalam, adalah merupakan hal yang sangat utama dalam ajaran Islam. Di dalam salah satu hadits Rasulullah SAW bersadba :

Artinya : Sholat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikannya berarti dia mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkannya berarti dia meruntuhkan agama.

Pada hadist lain Nabi menjelaskan :

Artinya : Amalan yang mula-mula dihisab dari seorang hamba di Hari Kiamat ialah sholat. Jika sholatnya baik, akan baik pula seluruh amalannya, sebaliknya jika sholatnya jelek, maka jelek pula semua amalannya.

Di dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :

Artinya : Dan dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (sholat) adalah lebih besar (manfaatnya) dari ibadah-ibadah lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S Al-Ankabut : 45).

Sholat yang merupakan oleh-oleh Nabi itu mengandung hikmah yang sangat besar dalam hidup dan kehidupan kita di dunia ini, antara lain adalah :

1. Adanya hubungan langsung antara seorang hamba dengan sang Khaliq Allah SWT, tanpa melalui perantara, baik orang maupun barang. Hubungan langsung ini adalah merupakan kebutuhan manusia yang senantiasa membutuhkan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Hubungan tersebut dibangun minimal lima kali dalam sehari semalam dengan menghubungi “nomor telpon Tuhan” yang terwujud dalam ibadah sholat, yaitu nomor 2 pada waktu pagi, nomor 4 pada waktu siang dan sore, nomor 3 pada waktu terbenam matahari dan nomor 4 pada waktu malam.

2. Adanya penjadwalan waktu secara ketat dan disiplin. Dengan sholat lima waktu sehari semalam pada waktu tertentu, maka hari terbagi dalam lima satuan yang dapat disesuaikan dengan berbagai pekerjaan. Satuan pertama dan kedua biasa dipakai untuk bekerja (termasuk istirahat dan jeda), satuan ketiga dan keempat untuk persiapan istirahat, sedangkan satuan yang kelima untuk istirahat. Dengan demikian kesadaran akan waktu dan menggunakannya dengan baik akan menjadi bagian dari hidup dan kehidupan sehari-hari.

3. Adanya sikap tawakkal sebab dalam sholat kita menyerahkan diri kehadapan Allah SWT, menyerahkan diri sesudah kita berusaha. Sholat disamping memuja, mengakui kebesaran dan memohon kepadanya, kita juga menyerahkan diri kepadanya. Apabila sikap ini tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut tidak akan tahan menghadapi kegagalan, padahal sesungguhnya kegagalan itu adalah sukses yang tertunda.

4. Adanya sifat Uzlah yang dalam istilah sufi berarti mengasingkan diri untuk sementara waktu dari hal-hal yang bersifat duniawi yang cenderung menyebabkan seseorang tergelincir dari rel kebenaran (Shirathal Mustaqiem) yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Sikap ini sangat diperlukan saat ini sebagai pembatas jarak di antara dunia yang sedang digeluti dengan tujuan akhir yang hendak dicapai dan sekaligus sebagai waktu khusus bagi seseorang mengoreksi diri.

5. Adanya pengakuan terhadap dosa dan kesalahan di hadapan Allah, sebab dosa akhir-akhir ini adalah merupakan sesuatu yang sangat tidak populer dan manusia yang menanggungnya tidak lagi merasa bersalah. Akibatnya orang mudah saja melakukan perbuatan dosa dan tidak malu kepada Tuhan apalagi kepada manusia. Sikap malu ini perlu dikembangkan khususnya dalam suasana negara yang sedang dilanda krisis moral dan mentalitas saat ini.

6. Sholat adalah merupakan perisai yang dapat melindungi seseorang dari perbuatan-perbuatan jahat dan munkar, sehingga dengan demikian seseorang yang melaksanakan ibadah sholat dengan baik dan benar, maka dia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan jahat dan munkar itu. Memang harus diakui bahwa banyak juga orang yang melaksanakan ibadah sholat, namun perbuatan-perbuatan jahat tetap juga dilakukannya. Hal ini bukan berarti bahwa ibadah sholatnya tidak ampuh untuk melindungi dirinya sendiri, akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah, barangkali pelaksanaan ibadah sholatnya tidak baik dan benar serta tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh (khusu’).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar