Sabtu, 25 April 2009

21. EKONOMI SYARIAH

Sesungguhnya krisis ekonomi global yang terjadi saat ini, di samping karena ‘kerakusan manusia’, juga disebabkan karena kesalahan sistem yang digunakan, yaitu sistem kapitalis yang berorientasi pada kepentingan pemilik modal, dan mengabaikan nilai moral dan etika. Betapa moral dan etika itu penting telah kita bahas dalam tulisan 9. Kesalahan sistem tersebut menyebabkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi ummat manusia tidak bisa diwujudkan. Sebaliknya ketimpangan semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat yang kaya dengan yang miskin.

Dengan demikian kita seharusnya mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki moral dan etika, yakni Ekonomi Islam atau lazim disebut Ekonomi Syariah. Maka lembaga ekonomi dalam kebijakan ekonomi dan teknis operasionalnya, seharusnya merangsang orang untuk menumbuhkan fitrah kebaikan, yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang pada kodratnya mempunyai kasih sayang, sehingga manusia akan merasa senang memberi bantuan kepada orang lain. Ajaran Islam yang terkandung dalam konsep ekonomi syariah diharapkan akan melahirkan sifat pengabdian, bukan sifat ekploitatif.

Karena itu ummat Islam harus memiliki keyakinan yang kuat, bahwa dalam masalah sosial, terutama masalah ekonomi, harus berdasarkan pada kaidah-kaidah ajaran Islam, bukan kaidah kaidah yang kejam yang mengutamakan kepentingan pemilik modal. Ekonomi Syariah diyakini akan makin menjadi pilihan apabila kita menginginkan kemandirian dalam mengelola ekonomi bangsa dan negara.

Kemiskinan dan pengangguran masih menjadi masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia. Keduanya menjadi indikator betapa bangsa ini masih belum mampu melepaskan diri dari keterpurukan. Sektor riil berada pada kondisi stagnan, padahal sektor inilah yang diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan dan menyerap pengangguran. Kondisi tersebut menyebabkan penduduk miskin tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan daya belinya, sehingga kesenjangan antara yang kaya dan miskin makin besar.

Karena itulah dalam Forum Ekonomi Islam Dunia (WIEF) ke-5 di Jakarta baru-baru ini, ditekankan antara lain agar dunia Islam menjadi pelopor dalam memperkuat investasi di sektor pertanian, guna menghadapi krisis pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani, yang masih terabaikan, dan masyarakat pada umumnya. Dunia Islam harus meningkatkan investasi dalam pengembangan pertanian dan industri pangan. Dampak krisis pangan terhadap kekacauan ekonomi, sosial dan politik telah terbukti dengan nyata.

Biasanya, produksi pertanian di negara berkembang selalu rendah. Sehingga, perlu diadakan kerjasama yang efektif antara pemerintah dengan swasta sebagai langkah maju dari pertemuan krisis pangan. Itu sangat penting untuk menarik kembali investasi ke sektor pertanian, dan juga sangat penting untuk melindungi petani. Kita perlu menggunakan teknologi untuk mempercepat produksi dan pada saat sama harus memastikan petani memiliki akses lebih baik ke pusat pasar nasional, sehingga mereka tidak kelebihan hasil pertanian, dengan menggalang usaha eceran.

Dunia Islam harus dapat menjadi pemimpin dalam memastikan bahwa hasil produksi pertanian dijamin dalam pasar, yang bersaing, dan memiliki pendapatan baik. Ini merupakan salah satu contoh dengan unsur swasta menanggapi kebutuhan mendesak dan memasukan modal berskala besar. Dalam sistem ekonomi kapitalis, bunga menjadi sumber utama penyebab stagnannya sektor ini. Ini adalah sumber penyebab terkonsentrasinya kekayaan di tangan segelintir kelompok. Dengan bunga, orang akan lebih terdorong untuk menyimpan uang di sektor keuangan daripada menginvestasikannya di sektor riil. Indonesia sampai sekarang tidak bisa melepaskan diri dari utang berbasis bunga. Utang yang berbasis bunga itu akan berlipat ganda terus menerus sehingga kita selalu terjerat bunga yang makin meningkat.

Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syeitan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [QS Al Baqarah (2): 275].

Adanya dana yang ‘menganggur’ di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) misalnya, adalah penyebab mengapa sering kali tejadi ketidak sesuaian antara kondisi makro ekonomi dengan keadaan sektor riil. Baiknya kondisi makro tidak otomatis menjadikan baiknya sektor riil. Berbeda dengan usaha bersama dengan sistem bagi hasil (mudharabah) dalam ekonomi syariah. Dalam sistem ini orang akan dipacu untuk terus berinvestasi karena return yang akan ia terima sangat tergantung pada investasi yang dilakukannya. Bahkan menabung di bank syariah dalam bentuk tabungan mudharabah, merupakan salah satu bentuk investasi.

Akad-akad dalam praktik keuangan syariah pada hakikatnya merupakan akad-akad di sektor riil. Tidak mungkin mudharabah akan eksis kalau tidak ada jenis usaha riil yang dilakukan. Tidak mungkin pula akad mudharabah akan terlaksana kalau tidak ada barang riil yang diperjual belikan. Begitu pula dengan akad-akad lainnya. Sektor keuangan akan selalu bersesuaian dengan sektor riil.

Maju mundurnya sektor keuangan sangat ditentukan oleh maju tidaknya sektor rii ini. Filosofi yang sama tidak pernah kita temukan pada konsep ekonomi konvensional. Untuk itu diharapkan seluruh elemen bangsa bersama-sama mengembangkan sistem ekonomi syariah dan menjadikan ekonomi syariah sebagai panglima kehidupan perekonomian bangsa dan negara.

Dalam perkembangan ekonomi Indonesia belakangan ini, fungsi perbankan secara optimal telah dijalankan oleh bank syariah, di mana penyaluran dananya telah mencapai 90%. NPL (pembiayaan bermasalah) di bawah 5%. Pertumbuhannya baik di tingkat lokal maupun internasional mencapai 15%. Kinerja dan potensi luar biasa itu dari perbankan syariah, pelahan tapi pasti akan medorong pemerintah menjadikan perbankan syariah sebagai pilihan, sehingga manfaatnya semakin besar.

Tantangan utama dan peran aktif yang ditunggu-tunggu perbankan / lembaga keuangan adalah pemberdayaan masyarakat pedesaan dan meningkatkan partisipasi ekonomi di tingkat akar rumput. Kalau perbankan syariah bisa mengambil peran dalam memajukan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK) saat ini mencapai 45 jutaan, berarti ikut mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, dan sekaligus menekan pengangguran.

Maka bagi sebuah negeri yang mayoritas penduduknya Muslim, sudah seharusnya menerapkan ekonomi syariah. Demikian harapan kita yang menekankan pentingnya menjadikan momen ini untuk melakukan perubahan dari ekonomi konvensional atau ekonomi ribawi, menuju ekonomi syariah yang berbasis keadilan, transparansi dan distribusi kesejahteraan kepada seluruh masyarakat.

Pakar ekonomi syariah Dr. Didin Hafidhuddin dalam tulisannya di Harian Republika tanggal 03/9/06 menyatakan bahwa ekonomi Syariah dibangun atas empat landasan filosofis yaitu:

Pertama, TAUHID dalam hal ini berarti bahwa semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah SWT dan hanya Dia yang mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, perolehan rezeki, dan sebagainya. Karena itu manusia harus mengikuti segala ketentuan Allah SWT dalam aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi. Dalam hal ini, ketentuan Allah SWT yang harus dipatuhi tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam kehidupan sosial, tetapi juga bersifat moral dan etika.

Kedua, KEADILAN dan KESEIMBANGAN ditegaskan dalam banyak ayat Al Qur’an sebagai dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh karena itu seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah bisa mewujudkan keadilan dan keseimbangan. Dalam ekonomi Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua dari satu entitas. Pada tingkat teknis, hal ini misalnya diterapkan pada praktik bagi hasil (mudharabah) di mana pemilik modal dan pekerja berada pada posisi yang sejajar dan adil.

Ketiga, KEBEBASAN mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang melarangnya. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi dan kreativitas (ijtihad) dalam ekonomi harus dikembangkan.

Keempat, PERTANGGUNGANJAWAB di sini berarti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memiliki tanggungjawab atas segala keputusannya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan memilih berbagai alternatif yang ada di hadapannya. Pada gilirannya, jika kita memilih Ekonomi Syariah, maka kita harus bertanggungjawab kepada Allah SWT.

Keempat landasan filosofis ini selanjutnya membawa perbedaan lainnya pada asumsi dan hal-hal yang bersifat teknis. Dari landasan tauhid misalnya, asumsi tentang manusia berbeda dengan asumsi ekonomi konvensional. Manusia dipandang sebagai makhluk yang pada kodratnya mempunyai kasih sayang, manusia akan merasa senang memberi bantuan kepada orang lain.

Dalam konteks ini, Dr. Didin Hafiddhuddin dalam tulisannya yang lain di Harian Republika, yaitu tanggal 17/12/06, mengemukakan beberapa sektor ekonomi syariah yang perlu digarap secara lebih serius di masa mendatang.

Pertama, ZIS (zakat, infaq dan shadaqah). Harus kita sadari bahwa ZIS memiliki potensi yang sangat besar. ZIS adalah salah satu solusi terhadap masalah kemiskinan. Rasulullah SAW telah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan Muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali sebab kebakhilan yang ada pada hartawan Muslim.” [HR Imam Al Abasan].

Dengan kejelasan Hadis tersebut, maka tidak mungkin peradaban dan kejayaan ummat ini akan datang kembali tanpa ditopang oleh kokohnya pembangunan zakat. Hal ini bukan penyebab berkurangnya harta. Justru sebaliknya ia adalah sumber investasi yang dapat menggerakkan perekonomian kelompok ekonomi lemah.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir miskin, para pengelolanya, para mualaf, untuk memerdekakan budak, orang yang bangkrut karena hutang, untuk jalan Allah, dan mereka yang terdampar dalam perjalanan. Inilah keketapan Allah. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” [QS At Taubah (9): 60]. Jika kaum dhuafa ini terberdayakan, maka dengan sendirinya perekonomian negara secara keseluruhan juga akan bergerak dan berkembang,

Kedua, adalah WAKAF, termasuk wakaf uang, yang sering disebut wakaf tunai. Kalau kita melihat kejayaan Khilafah Turki Usmani yang telah menguasai dunia selama 600 tahun, salah satu sumber utama penyebab kuatnya perekonomian mereka, adalah karena wakaf tunai. Wakaf tunai telah menjadi inspirasi kejayaan peradaban Turki. Wakaf tunai itu adalah potensi sumber pendanaan yang luar sangat besar, jika mampu dikelola dengan baik.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya wakaf tunai jika 20% saja ummat Islam mau berwakaf 100 ribu rupiah setiap bulannya. Untuk ini, pemerintah harus secara serius memikirkan penggalian potensi wakaf ini. Lahir dan tumbuhnya Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan suatu keniscayaan, kebutuhan dan keharusan. Bangsa Indonesia tidak perlu berutang kepada negara-negara kaya, jika mampu menggali potensi wakaf tunai ini.

Ketiga, PERBANKAN SYARIAH. Sektor inipun harus didukung untuk terus berkembang. Untuk itu UU Perbankan Syariah. Kemudian, peningkatan kualitas SDM perbankan syariah secara terus menerus, sehingga produktivitas dan profesionalisme mereka mampu menjadikan perbankan syariah nasional lebih kom-petitif dan memiliki daya saing yang tinggi. Pemerintah pun harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk membantu berkembangnya industri perbankan syariah.

Keempat, SUKUK atau obligasi syariah. Sukuk adalah instrumen yang mampu mendorong pada peningkatan arus investasi ke Indonesia. Dengan potensi sumber daya alam yang luar biasa, kita yakin bahwa Indonesia tidak akan kesulitan untuk mendapat dana investasi jika pemerintah menerbitkan sukuk. Bahkan boleh jadi akan terjadi kelebihan permintaan.

Kelima, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) syariah seperti Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Era sekarang adalah era pembiayaan mikro. Mengembangkan sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan keniscayaan. Dan UKM terbukti merupakan salah satu faktor yang telah menjadikan kuatnya perekonomian Jepang, di mana kontribusi UKM mencapai 50% dari total keuangan perindustrian Jepang. Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya yang meraih hadiah Nobel Perdamaian, menunjukkan bahwa pembiayaan mikro telah mengubah nasib banyak kaum miskin di Bangladesh. BMT pada hakikatnya merupakan ujung tombak pemberdayaan kelompok dhuafa.

Keenam, sektor keuangan lainnya, seperti PASAR MODAL SYARIAH dan ASURANSI SYARIAH juga harus mendapat perhatian kita bersama.

Demkian cuplikan penting dari dua tulisan Dr. Didin Hafidhuddin yang perlu kita ketahui tentang ekonomi syariah. Dalam pengembangan selanjutnya, hendaknya pemerintah menunjukkan komitmen yang kuat untuk membantu berkembangnya perbankan syariah, yang merupakan unsur utama dalam menunjang ekonomi syariah. Bank syariah lebih dari satu dekade ini eksis sudah membuktikan banyak memberikan manfaat. Menerapkan ekonomi syariah merupakan satu-satunya jawaban untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar